F Ageng Prangbatin : Sang Serigala Terakhir (Cerpen) | Ismanadi -->

Ageng Prangbatin : Sang Serigala Terakhir (Cerpen)

Photo by Federico Di Dio photography on Unsplash
“Prang, bangun! Sudah siang nak buruan bangun, 2 jam lagi kamu harus temui Dokter Tian untuk kontrol nak, ayo cepat!”. Begitulah teriak ibuku tiap hari, lebih-lebih di hari senin untuk membangunkanku dari dunia yang kusenangi.  Aku merasa sangat baik dan merasa lebih baik ketika berada di dunia mimpi-mipmi indahku. Karena di dunia nyataku, aku hanya berurusan dengan dokter Tian, teriakan ibu, suntikan dan beberapa kantung pil yang harus aku habiskan tiap minggunya. Sungguh duniaku kini sangat membosankan dan membebani pikranku, tapi apa boleh buat. Mungkin inilah jalan hidupku yang kurasa semakin jauh dari titik terang. Jauh dari haluan masa depan yang begitu banyak harapan dan keindahan. Yang aku rasa itu semua hanya berpihak pada orang-orang lain, bukan berpihak padaku.
***
Namaku adalah Ageng Prangbatin, seroang pemuda yang hampir berumur 3 dekade yang kini memutuskan diri dari absurdnya dunia.  Aku men-drop-outkan diri dari surau estetika yang dulu aku anggap tempat yang paling menyenangkan. Teman-teman mengenalku sebagai pribadi yang sangat pendiam. Mulutku sejak dulu memang tak pernah baikan dengan kata-kata, aku terbiasa terdiam dan hanya sesekali tersenyum. Senyumkupun seingatku sudah mati seiring dengan kepergian satu per satu teman-temanku yang aku rasa dulu sebagai dunia luar rumah yang nyaman. Penuh dengan canda tawa, kehangatan dan keceriaan walaupun aku hanya mampu melihat dan merasakannya dari jauh meski saat itu secara fisik kami sangat dekat.  Saat ini yang mampu memahamiku hanyalah dinding kamarku dan gitar bututku. Dan teman setiaku adalah setumpuk pil yang harus ku habiskan tiap hari. Aku semakin merasa hanya berjuang seorang diri di dunia ini. Lebih-lebih setelah beberapa kali keluar masuk opname di rumah sakit.

***

“Bu, kondisi Prang saat ini agak lebih baik dari minggu lalu”. Ucap Dokter Tian”
“Terima kasih Dok, saya mohon dokter, tolonglah anak saya agar segera pulih kembali.” Sahut Ibu
“Baik Ibu, kami akan usahakan yang terbaik. Ibu yang sabar ya dan tetap kita mohon Pada-Nya, dan jangan terlambat untuk selalu memberikan obat antipsikotik seperti biasa tiga kali sehari ya”. Seru Dokter Tian menenangkan.

***

Aku berjalan di belakang ibu, kami berjalan menyusuri teras-teras kamar rumah sakit setelah keluar dari ruangan Dokter Tian. Di kejauhan ku lihat beberapa orang yang sedang sakit. Tapi menurutku mereka masih beruntung , karena disekitarannya masih banyak teman-teman yang peduli dan membawakan keceriaan hingga sakit yang ia terima mungkin tak terasa begitu membebani. Berbeda dengan aku,  secara fisik orang melihatku tidak akan menemukan tanda-tanda bahwa aku sedang sakit, namun bisa kupastikan sakitnya melebihi orang-orang sakit yang kulihat itu.

***

“Assalamu’alaikum Bu Mida!” Celetuk bu Heni
“Wa’alaikum salam , eh bu Heni”. Sambut bu Mida terbata-bata
“Mau kemana? Kok sepertinya terburu-buru.”  Sambung bu Heni
“ Iya bu, ini saya mau kerumahnya ustad Rofiq.” Jawab bu Mida
“Loh, ada perlu apa bu, kalau boleh tahu,tentang Prang ya!” Tegas bu Heni
“Iya bu, saya mau berkonsultasi tentang kondisinya Prang sekarang, siapa tahu ada jalan keluar yang baik di sana, “ jawab bu Mida.
‘”Oh ya, ya sudah hati-hati bu ya dijalan”  ucap bu Heni
“Terima Kasih Bu Heni, Assalamu’alaikum” jawa bu Mida
“wa’alaikum salam”. Tutup bu Heni.

***

Sore ini aku baru terbangun,  seingatku siang tadi ibu datang bersama ustad Rofiq dan 2 orang muridnya. Aku tak mengerti apa yang mereka kerjakan disini, seingatku setelah kedatangan mereka kerumahku dan bercakap-cakap sebentar dengan ibu. Mereka mendatangi kamarku. Ibu menyuruhku berbaring begitu saja. Akupun pasrah, sepertinya mereka memegang keningku sambil membaca bacaan-bacaan seperti yang kudengar tiap hari di masjid timur dekat rumahku sesaat sebelum adzan dikumandangkan.
“Prang, kamu baik-baik saja nak?” tanya Ibu sambil mengusap peluh yang besimbah di sekitaran mukaku
“Makan dulu ya Prang?, Ibu khawatir, hampir dua jam lebih kamu pingsan.”. Ucap ibu pelan.
“Ibu suapin ya?” Pinta ibu lagi
Sesaat kemudian suasana terasa hening, ibu terduduk diam disebelahku sambil menatap erat di wajahku.
“Bu….aku sudah tak punya harapan lagi. Aku tak punya masa depan yang jelas. Maafkan aku bu. Hingga sebesar ini aku hanya mampu menjadi beban pikiran dan tanggunganmu.” Ucapku pasrah.
“Tidak Prang, kamu masih punya harapan nak.” Jawab ibu menghibur
“Tidak bu, masa depanku sudah hilang, lilahtlah bu, Kuliahku berantakan, bahkan temanpun aku sudah tak punya bu, merka tak ada yang peduli, mereka tak ada lagi yang mengingatku. apa yang bisa aku harapkan, apa yang bisa aku andalkan bu.” bentakku dengan keras
“lihatlah bu, apa yang bisa kulakukan sekarang. Tanpamu aku hanya seonggok tubuh pengisi kamar, aku hanya bisa mengisi hari-hari tuamu dengan beban yang semakin bertumpuk seriring dengan memutihnya rambutmu bu. Apa coba yang bisa ku berikan padamu selain air mata. Apa bu!. “

Ibuku menjawab semua perkataanku hanya dengan tetasan bening air yang jatuh dari matanya. Ia tetap terdiam dipinggir tempat tidurku. Aku hanya bisa melihat langit-langit kamarku yang mulai terisi oleh arsiran rumah laba-laba kecil. Aku merasa hidup ini sudah tak ada tujuan lagi, tak ada harapan yang ingin kucapai, jangankan mencapainya berharap-pun rasanya aku sudah tak ingin dan mampu lagi. Aku sudah terlalu lama nyaman dalam kondisi seperti ini.  Aku selalu ingat, mereka yang bisa memahami dan memberikan ketenangan yang kubutuhkan sudah pergi menjauh. Tak ada lagi teman, tak satupun lagi kawan yang biasa mengisi hari-hari dengan tawa, kekompakan, kebersamaan dan kehangatan cengkrama yang membuat dunia kecilku menjadi tak terbatas, menghilangkan sekat-sekat ketidak pastian, membinasakan sendi-sendi perbedaan. Disana saat itu semua tumpah ruah dalam gemulai estetika, yang walaupun satu dua hal kami sulit untuk memahami akan tetapi kasatnya visual yang kami tampakkan seakan sudah mampu mengganti seluruh kata-kata dan istilah yang tak kami pahami dan lebih-lebih tak kami butuhkan. Saat ini aku hanya ingat satu dunia di dalam galaksi ini, dunia yang penuh warna, dunia yang penuh hangatnya mentari persaudaraan, dunia yang penuh dengan awan ocehan dan celotehan yang saling menguatkan semangat tuk terus menghasilkan, berkarya dan mengupas alam imajinasi dan khayalan. Dan seingtku dunia itu bernama Gomball, dimanakah mereka?

Oleh : Ismanadi
Kisah dalam cerpen ini adalah true story yang saya tulis untuk menggambarkan kondisi salah satu rekan kita saat ini. Sumber tulisan yang saya adaptasi dari perbincangan ringan namun serius disaat membahas hasil home visit bapak Taufik, Bapak Yuga dan Bapak Amon kerumah  rekan kita yang kita kenal sebagai “The Most Silent Man”. 


BERIKAN KOMENTAR ()